UPACARA ENTAS-ENTAS/NGABEN JAWA

Masyarakat Hindu Jawa memiliki tradisi Upacara Ngaben
sebagaimana yang dilakukan oleh Masyarakat Hindu di Bali, Upacara Ngaben kalau di
Jawa disebut Entas-Entas. Dalam pelaksanaan Upacara ini tidak ada prosesi kremasi
jenazah seperti halnya kegiatan Upacara Ngaben di Bali. Prosesi Entas-Entas di
Jawa dilakukan dengan membakar sarana sesaji yang dimaksudkan untuk
menyempurnakan Arwah/Atman agar menjadi roh suci sehingga bisa kembali lagi
kepada Sangkan Paraning Dumadi/Sang Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa). Pelaksanaan
Upacara Entas-Entas ini tidak hanya berlaku untuk menyempurnakan satu arwah
saja, tetapi juga bisa juga digunakan untuk menyempurnakan arwah secara massal.
Ini pula yang dilakukakan oleh Keluaga besar Bp. Suyitno dan Ibu Sumini di
Dusun Tlogotirto, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen pada tanggal 20
Agustus 2019. Pelaksanaa Upacara Entas-Entas ini dipimpin oleh Romo Pandita
Puja Brata Jati.
![]() |
Dalam sastra Jawa Kuno suksma atau roh orang yang meninggal tidak langsung menuju kepada Sang Pencipta tetapi suksma tersebut mampir dulu atau singgah di alam yang disebut Tegal penangsaran. Di alam Tegal Penangsaran ini suksma sangat menderita oleh karena itu dalam agama Hindu ada aturan untuk melaksanakan upacara Entas, yakni ngentas suksma atau roh untuk diangkat ke alam yang lebih tinggi derajatnya. Makna dari Pengentas-entas adalah nyuwargakan atau menyempurnakan dari alam yang sengsara dan menderita ke alam yang lebih bahagia. Demikian dijelaskan oleh Romo Pandita Puja Brata Jati.
Pelaksanaan upacara Entas-Entas diawali dengan penyiapan
banten atau sesaji yang jumlahnya cukup banyak. Sesaji tersebut antara lain
berupa pisang ayu, aneka buah-buahan, umbi-umbian, kelapa, bunga, tumpeng suci,
tumpeng robyong, tumpeng panggang ayam, tumpeng pengentas dan sebagainya.
Prosesi
Entas-Entas dimulai dengan mengambil tanah pusara orang yang akan dientaskan
arwahnya. Prosesi ini disebut Nyapuh. Pengambilan tanah pusara dilakukan oleh
pemangku adat. Prosesi ini pun juga memerlukan sarana sesaji dan wadah untuk
sarira atau badan orang yang meninggal. Dalam keyakinan agama Hindu badan atau
jasad orang yang meninggal masih ada kehidupan. Maka dari itu badan tersebut
diambil untuk diswargakan atau disempurnakan. Sehingga yang diswargakan bukan
hanya suksma saja tetapi badan atau jasad juga harus diswargakan karena badan
tersebut telah berjasa sebagai kendaraan bagi suksma ketika masih hidup di Dunia.
Setelah prosesi Nyapuh
kemudian dilakukan prosesi memanah sad ripu yang disimbolkan dengan bentuk
naga. Satu arwah dilambangkang dengan satu naga. Prosesi memanah dilakukan oleh
Pandita dengan kekuatan Dewa Nawa Sanga.
Sad ripu adalah
enam musuh yang ada dalam diri manusia. Musuh ini adalah nafsu yang terdiri
dari kama, lobha, krodha, mada, moha dan matsarya. Menurut Romo Pandita Puja
Brata Jati, Sad Ripu adalah hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan
sehingga tidak perlu dibenci atau dibunuh karena itu sandangan manusia. Tanpa
sad ripu manusia tidak akan sempurna. Yang terpenting adalah manusia harus
mampu mengendalikan sad ripu agar tidak terbelenggu olehnya. Sad ripu ini
setelah mati tidak ikut ke jasad tetapi ikut ke suksma. Oleh karena itu sad
ripu yang melekat ke suksma ini harus dilepaskan dulu supaya suksma menjadi
sejati atau roh suci dan bisa menyatu dengan Tuhan.
Setelah prosesi
memanah sad ripu kemudian dilanjutkan dengan prosesi Entas-Entas atau Ngaben di
kompleks Makam. Pada prosesi ini seluruh anggota keluarga melakukan kirab
dengan membawa sarana sesaji dan diiringi gending-gending Jawa selama dalam
perjalanan.
Pada prosesi Entas-Entas ini jasad yang disimbolkan dengan sarana sesaji
dan tanah pusara tadi kemudian dibakar untuk disempurnakan. Setelah dibakar
arang dari sesaji tersebut diambil dan